PANDANGAN Tan Malaka (1948) Tentang AGAMA, FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK

Sumber : MADILOG (Undang Kaum Proletar Berpikir)

Kontributor: Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Feb 2008)

10346303_791184757620731_1871387477353487649_n

Editor: Tiburtius Solanus J.

(Mahasiswa Universitas Nasional Jakarta)

Tak dapat dipungkiri, kita memusatkan perhatian kepada dunia barat yakni Eropa dan Amerika. Sejarah dunia barat telah melahirkan dan menampilkan tiga garis pokok kebudayaan yaitu agama, filsafat dan ilmu pengetahuan empiric. Dimana ketiga garis pokok tersebut dari waktu ke waktu banyak mengalami kemajuan, kemunduran serta pertukaran nilai dan kedudukan. Secara garis besar, agama memperoleh nilai kedudukan tertinggi (500 SM-1500M) sedangkan filsafat hanya mengabdi kepada agama serta ilmu pengetahuan empiric. Pada zaman itu meliputi peradaban Yunani, Romawi, dan Abad pertengahan, saat di mana masyarakat Nasrani dan Muslim berkembang. Pada zaman itu pula ahli filsafat (para filsuf) ikut berperan penting dalam Negara dan masyarakat. Pada tahun 1500-1850, adanya perubahan kedudukan di mana ilmu filsafatlah yang memperoleh nilai dan kedudukan yang tertinggi dalam masyarakat barat. Saat itu pula agama mulai terdesak dan mengalami kemunduran bahkan pada masa revolusi perancis agama mendapat perlawanan keras dari masyarakat, karena besarnya pengaruh dan peran para filsuf dalam Negara dan masyarakat. Sedangkan ilmu pengetahuan empirik menjadi sandaran utama bagi ilmu filsafat. Pada saat itu, mereka yang mempunyai pengetahuan filsafat dan ilmu pengetahuan empiric/ ilmu nyata menjadi pimpinan masyarakat dan Negara.

Sejak tahun 1850-sekarang, ilmu pengetahuan empiriklah (science) yang memperoleh nilai dan kedudukan tertinggi dalam masyarakat dan Negara (termasuk masyarakat barat ‘eropa dan amerika modern). Agama yang di masa Revolusi Perancis mendapat tentangan keras dapat bangkit kembali dari keterpurukannya, tetapi tidak lagi mendapatkan nilai dan kedudukan seperti saat sebelum Revolusi Perancis.

Pada pertengahan abad ke-19 ilmu filsafat mengalami kemunduran, kedudukannya tidak lagi seperti di zaman sebelumnya. Hal demikian terbukti, Satu golongan ahli filsafat yakni filsafat materialisme dialektis, di bawah pimpinan Marx dan Engels mempromolgasikan : “Hari Akhir Filsafat”. Semenjak itu ilmu kemasyarakatan pun sudah didasarkan atas hukum ilmu pengetahuan empirik. Ilmu pengetahuan empirik dalam pelbagai pokok, cabang dan ranting sudah mengambil nilai serat kedudukan yang tertinggi sampai sekarang. Ahli ilmu pengetahuan empirik memakai perkataan filsafat tetapi mengandung arti berbeda. Artinya terpenting ialah weaving up general principles (penyusupan prinsip umum), seperti yang dikatakan Francis Bacon, salah seorang ahli ilmu pengetahuan empirik besar.

Jelas bahwa dalam tiga zaman yang kita kemukakan dari Dunia Barat saling beralih nilai dan kedudukan antara tiga garis pokok kebudayan : agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan empirik. Adapun peralihan ketiga garis pokok kebudayaan seperti yang digambarkan di atas, sejajar pula dengan peralihan kedudukan yang dialami oleh para penguasa masyarakat dan negara (Social-political regime).

# Pada masa pendeta dan kaum bangsawan memegang tampuk pimpinan masyarakat dan negara baik di Yunani, Romawi maupun di Eropa Barat di zaman pertengahan (±1500-1850 M), produksi sudah lebih dipusatkan pada manufaktur. Di akhir masa itu, pengoperasian pabrik sudah mulai dijalankan dengan mesin uap.

# Pada masa kaum borjuis (yang ditentang oleh kaum sosialis) memegang tampuk pimpinan masyarakat dan negara di Eropa-Barat dan Amerika, (berkisar sejak tahun 1850 sampai 1948), produksi sudah dikuasai finance capital (modal bank) dan monopoli, kemajuan serta perkembangan teknologi yang begitu cepat dan pesat, dari tenaga uap sampai tenaga listrik, minyak dan sekarang tenaga atom, dll.  

 AGAMA

Agama berpusat pada dari mana asal dan bagaimana akhirnya manusia?

Tiga agama keTuhanan, yakni agama Yahudi, Nasrani, dan Islam berlandaskan bahwa awal dan akhir yaitu kodrat Tuhan. Alam raya dan manusia difirmankan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa adalah ciptaan-Nya. Manusia serta kehidupannya berserah diri kepada kemauan/ kehendak  Tuhan. Amal dan ibadahnya juga dipertimbangkan. Amal dan ibadah itulah  ikut menentukan, apakah pahala atau hukuman yang akan diterimanya di akhirat. Ringkasnya ketiga agama tersebut tidak hanya menetapkan awal dan akhir kehidupan manusia tetapi juga menetapkan jalan atau petunjuk menuju surga dan menghindarkan neraka.

Agama Hindu dan Budha mempunyai pandangan lain tentang awal dan akhirnya manusia. Budha (Sidharta Gautama) mengemukakan jalan/ petunjuk berbeda menuju surga. Dalam agama Budha akhir dari kehidupan manusia bergantung pada tanggung jawab diri dan perbuatan.

Semuanya telah digambarkan. Menurut Tan Malaka agama adalah eine privatsache (kepercayaan masing-masing). Kemajuan ilmu pengetahuan berpengaruh pada pengertian dan pemahaman terhadap agama dalam menjelaskan sendi dan pokok utama bagi agama itu sendiri. Tetapi yang jelas bahwa agama adalah menyangkut suatu kepercayaan bagi setiap orang.

FILSAFAT

Seperti halnya agama, filsafat juga bergantung pada sudut pandangnya. Menurut Engels, ahli filsafat dapat dibagi dua golongan, yakni golongan materialis dan golongan idealis. Kedua golongan besar tersebut merupakan dua-kutub yang saling bertentangan dan bertolak belakang. Ahli-ahli filsafat terus bertolak belakang sebagai akibat pertentangan jawaban yang diberikan oleh mereka atas asal mula filsafat, yang berkenaan dengan: “Manakah yang asal (primus) dan manakah yang turunan (derivative) diantara benda (matter) dan paham (idea)?

# Di alam raya terdapat soal benda dan kodrat yang menggerakkan benda itu. Di dalam jenis hewan soal itu berubah menjadi soal badan dan jiwa (nyawa-naluri). Di dalam jenis manusia, soal itu berubah-bertukar menjadi soal jasmani dan rohani-pikiran. Ahli filsafat bertanya, manakah yang asal, benda atau kodrat, badan atau jiwa, dan jasmani atau rohani?

Pertentangan Kaum Materialis dan Idealis

Kaum materialis menilai bahwa benda dan jasmani itulah yang asal, yang pokok. Tak ada kodrat zonder (tanpa) benda. Manusia makan, supaya dapat berpikir. Sebelum manusia itu ada di bumi ini, maka bumi dan bintang itu sudah ada, kata kaum filsafat materialis.

Menurut kaum idealis, ide, kodrat atau rohani itulah yang asal (primus) dan benda jasmani itulah yang turunan (derivative) maka yang ada di alam raya ini hanya ide yakni ide yang ada dalam otaknya ahli filsafat itu sendiri. Memang paham ini ada hubungannya dengan kekuasaan mahadewa Rah, yang mengisi dunia. Bagaimanapun juga perbedaan paham dan pandangan itu sebagai ejekan kaum idealis yang ditujukan kepada kaum materialis, bahwa kaum materialis cuma memikirkan makan-minum serta kesenangan hidup semata.

Ahli Filsafat Yunani

Setelah para filsuf Yunani mulai melepaskan diri dari tali pusat kepercayaan yang bersandar kuat kepada dogma semata mulai kritis menghadapi alam raya. Mereka sampai kepada empat anasir asli, yakni tanah, air, udara dan api. Terkurung dalam rohaninya sendiri sebagai penyelidik alam raya serta terganggu oleh benda dan gerakan benda di luar pikirannya sendiri, maka Zeno, idealis Yunani, mengambil kesimpulan bahwa: Gerakan (benda) itu sebatas bayangan panca indera manusia (illusion of the sense).

Filsuf Yunani lainnya, Plato yang juga menyetujui cara berpikir memisahkan benda dengan kodrat, serta memisahkan jasmani dengan rohani, mendapat kesimpulan bahwa yang asal itu ialah ide-mutlak (absolute idea). Sebaliknya, seorang pemikir tandingan yakni Heraklitos, mengemukakan kesimpulan bahwa Sesuatu itu ada dan tak ada karena semua itu cair, luntur, senantiasa berubah, selalu timbul dan lenyap. Heraklitos mengakui adanya benda, bahkan memajukan hipotesis molekul, yang lebih dari dua ribu tahun kemudian baru dibenarkan oleh ilmu pengetahuan empirik. Lagi pula dalam pertentangannya dengan Zeno, Heraklitos mengemukakan bahwa gerakan, sebagai sifat benda dan yang menyebabkan benda, senantiasa mengalami perubahan (Nichist, alles wird) menurut hukum gerakan, yakni Hukum Dialektika.

Disamping kedua golongan ahli filsafat tersebut hidup raksasa pemikir Yunani, yakni Aristoteles. Sebagai seorang tabib yang senantiasa mengenal adanya benda dan jiwa, sebagai bapak dari beberapa ilmu, terutama ilmu hayat (biologi), maka Aristoteles memusatkan perhatiannya kepada suatu susunan, suatu sistem. Aristoteles lebih daripada Zeno dan Plato dalam memperhatikan benda. Tetapi hukum berpikir yang diutamakannya ialah hukum logika dan hukum dialektika yang dikemukakannya tidak sama dengan hukum dialektika yang dipakai oleh Heraklitos dan Demokritos.

Ahli Filsafat Abad Pertengahan

Pada umumnya, para filsuf Yunani memiliki pengaruh yang sangat besar, Aristoteles dan Plato khususnya terhadap masyarakat di Abad Pertengahan. sDunia filsafat Barat memberikan apresiasi pada Ibnu Rusyd, yang dikenal sebagai Averoes, atau Ariestoteles-nya bangsa Arab. Bendera filsafat Ariestoteles yang sudah terbenam lama diangkat kembali oleh Ibnu Rusyd, diperbarui dan diserahkannya sebagai warisan masyarakat Yunani. Plato pun demikian. Masyarakat Islam di Abad Pertengahan mengenal satu golongan pemikir yang dinamai Mu’tazilah. Mereka berada di sekitar kota-kota besar kerajaan Islam dan dianggap sebagai pemberontak (anarkis dan ateis). Keterangan lebih lanjut tentang paham dan kehidupan mereka tidak diketahui secara pasti. Mereka dianggap murtad oleh agama resmi. Ibnu Rusyd sendiri  adalah salah seorang Mu’tazilah dan pahamnya itu sangat ditakuti oleh para pendeta di Eropa. Tetapi tidak mengherankan kalau kaum Mu’tazilah adalah Murba-Kota yang berpaham revolusioner dan penganut materialisme dialektis walaupun masih serba sederhana (rudimentary).

Pada abad pertengahan Eropa Barat kehidupan kaum budak-serf sangat menderita (kesengsarahan hidup). Pemerasan dan tindasan kejam oleh kaum bangsawan dan pendeta atas budak-serf. Kaum budak tidak diberi kebebasan dan kesempatan untuk memikirkan soal filsafat. Filsafat diserahkan kepada pendeta yang tinggal di pekarangan gereja yang mewah dan dilayani oleh rakyat budak di sekitarnya.

Terpisah dari masyarakat pekerja seperti Logosnya Plato, terpisah dari benda yang kasar dan fana, maka para rahib dan pendeta mendapat kesempatan penuh untuk menguji filsafat Plato dan Ariestoteles. Logos dan rohani mutlak Plato, di mana God (Tuhan) sifatnya berada lepas dari segala-galanya dan berada di atas segala itu. Paham mereka (para rahib dan pendeta) merupakan pelaksanaan Logos dan Theos di dunia ini.

Pada tahun 500SM-1500 M, filsafat masih bersandar kepada agama dan ilmu pengetahuan empirik yang sederhana. Kaum idealis masih memakai kepercayaan agama sebagai premis (bukti-dasar) dalam pembentukan sistem (karangannya). Tetapi kaum materialis tidak lagi memakai anasir kepercayaan agama itu sebagai premis tetapi memakai bukti yang nyata sebagai premis.

Kedua paham tersebut, idealis dan materialis mempergunakan matematika, ilmu alam dan ilmu hayat yang sanagt sederhana dalam penjelasannya. Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan empirik, maka penjelasan yang berdasarkan kepercayaan yang tak dapat dibuktikan itu ditinggalkan (petitio principi).

Ahli Filsafat Di sekitar Revolusi Perancis

Di zaman Revolusi Perancis, ilmu pengetahuan empiric mengalami kemajuan sudah sejak lama, jika dibandingkan dengan zaman Plato, Heraklitos dan Aristoteles. Di Perancis kita mengenal raksasa matematika dan ilmu-ilmu alam (physic) serta mekanika seperti Maupertuis, Clairut, D’Alembert, Lagrage, Laplace, Fourier, Carnot, Pascal dan lain-lain. Di Inggris bangkit seorang raksasa matematika, ilmu alam dan fisika yakni Isaac Newton. Dalam dunia ilmu Kimia hadirlah seorang berkebangsaan Perancis bernama Lavoiser yang menyusun secara sistematis ilmu kimia, yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari pemikiran Ibnu Sina, ahli kimia Arab! Sedangkan Cuvier mengembangkan pemikiran Aristoteles. Perbandingan Phytagoras dilanjutkan oleh Newton, begitu juga pemikiran Archimedes oleh Pascal. Masih banyak yang bisa disebut, namun itu semua ibarat memperbandingkan anak bayi dengan orang dewasa.

Tidaklah mengherankan jika kemajuan ilmu pengetahuan empiric menjadi pemisah antara zaman kuno dan Abad Pertengahan seolah-olah memberikan bahan yang tidak ternilai pada ahli filsafat. Tetapi para ahli filsfat tetap terpecah dua yakni golongan idealis dan materialis. Bahkan masing-masing golongan itu mempergunakan kemajuan ilmu pengetahuan empirik itu sebagai penjelasan (proof) kebenaran masing-masing atas teori mereka.

Di Inggris muncul ahli filsafat yang terkemuka, yakni Berkeley David Hume. Menurut David Hume dengan tekad konsekuensi seorang ahli filsafat berpendapat bahwa setelah final analysis (kupasan terakhir) maka segala yang ada di alam raya ini tidak lain hanyalah a bundle of conceptions (gabungan paham) tentang alam raya. Bahkan Hume mengatakan bahwa “kamu-pun” menurut Hume hanyalah satu “gambaran”.

Imanuel Kant ahli filsafat Jerman yang banyak dipengaruhi oleh David Hume tidak berani menarik kesimpulan nekat layaknya seorang David Hume. Kant berdiri ditengah-tengah! Dia tidak bisa meniadakan yang ada di alam raya ini. Tetapi selain mengakui yang ada itu, dia lari pula kepada “Ding An Sich” “benda pada dirinya sendiri”, yang belum diketahuinya. Dengan hadirnya Imanuel Kant di Jerman, maka timbul-tumbuhlah juga filsafat idealisme yang kemudian diteruskan oleh para ahli seperti Fichte dan Hegel.

Berkeley dan Hume, ahli filsafat idealis Inggris di sekitar revolusi borjuis itu mendapat kritikan yang sanagt keras dari ahli filsafat materialis Perancis yang terkemuka seperti Diderot dan Lamartine. Bersandarkan matematika, ilmu alam dan fisika yang maju pesat pada masa itu, mereka meniadakan kemahakuasaan kerohanian di alam raya ini. Tenggelam pada paham sebaliknya, mereka mengakui kemahakuasaan kerohanian. Mereka mengakui kemahakuasaan Matter in move, benda bergerak. Seolah-olah manusia tak memiliki daya saat berhadapan dengan benda dan hukum gerakan benda di alam raya ini. Manusia itu adalah mesin yang pasif, hanya bisa menerima. Jika ada kodrat penggerak maka bergerak. Manusia itu takluk tanpa syarat kepada alam disekitarnya. Materialisme yang semacam ini kami namai Mechanical-matterialism, yakni materialisme yang menganggap manusia itu seperti mesin yang menerima nasibnya dari kodrat yang ada di luar dirinya. Seolah-olah manusia itu tidak berdaya untuk mengubah suasana dan keadaan alam disekitarnya. Rupanya masih ada sisa semangat lama yang melekat pada semangat kaum materialisme mekanis itu. Seperti manusia sederhana merasa tak berdaya terhadap takdir Tuhan, demikian pula kaum materialis di masa Revolusi Perancis merasa tidak berdaya terhadap kebendaan itu (mechanism of matter).

 

Materialisme Dialektis

Suara ahli filsafat materialism dan suara ahli filsafat idealism diterima dengan baik di kalangan pemikir Jerman. Ludwig Feurbach, seorang profesor Jerman, yang mengadopsi filsafat materialisme dari Perancis, terutama yang menyangkut pada apa yang dinamakan menschalische taotigkeit (perbuatan manusia).

Marx dalam 11 tesis bantahan terhadap Feurbach, menyatakan bahwa pemikiran Feurbach itu menyangkut “Perbuatan manusia itu pada idealisme”, sedangkan bagi Marx “Perbuatan manusia masuk ke dalam golongan kebendaan”. Setelah Feurbach dipecat oleh kaum borjuis dari pekerjaanya sebagai mahaguru karena dianggap terlampau radikal, maka feurbach terpaksa hidup terpisah di desa Jerman dan kian hari kian luntur dalam pandangan revolusioner dalam cara berpikir menurut cara dialektika materialistis.

Pemikiran yang bersandar kepada dialektika dilanjutkan oleh Marx dan teman sezamannya, yakni Frederich Engels. Di samping pujangga, kedua orang ini adalah ahli dan penggemar matematika yang kerap mempergunakan utopis sosialisme Perancis dan Inggris. Mereka juga memanfaatkan teori Evolusi dari Charles Darwin, serta teori ekonomi Adam Smith dan David Ricardo dalam pembentukan teori mereka. Dengan mendapatkan cause atau lebih tepat condition (keadaan) karena kemajuan masyarakat itu, maka sosialisme yang berdasarkan impian (utopia) seperti dicetak oleh Thomas Moore, Saint Simon, Fourir, dan Robert Owen, berubah menjadi scientific socialism, yakni sosialisme ilmiah.

#Adapun yang dianggap menjadi sebab (cause) perubahan, termasuk perubahan masyarakat, dari tingkat ke tingkat itu ialah perubahan sistem produksi ilmu sejarah yang didasarkan pada benda yang nyata dinamai historical materialism (materialisme sejarah), yakni teori materialisme tentang sejarah. Pandangan hidupnya yang berkenan dengan kebendaan yang bergerak itu dinamai Materialisme Dialektis.  

#Di sebut materialisme karena matter, bendalah yang dianggap primus, pokok, asal di alam raya ini. Di sebut pula dialektis karena cara menghampiri soal benda serta kejadian di alam raya ialah dalam keadaan bertentangan dan bergerak, yakni dalam keadaan timbul, tumbuh, dan tumbang.  

Setelah Marx dan Engels mendapatkan cause atau condition, sebab dari perubahan dan pertukaran kedudukan masyarakat manusia, maka berubah pula sejarah manusia, dari satu kebetulan, dari satu nasib yang tidak memiliki sebab dan tiada pula mengakibatkan sesuatu yang nyata, menjadi sesuatu peristiwa yang berpangkal, berujung, memiliki sebab dan berakibat. Dengan begitu, maka berpindahlah ilmu sejarah itu dari dunia gaib ke dunia nyata. Demikianlah asal dan tujuan, serta lakonnya suatu masyarakat itu secara berlahan mudah diselami oleh akal. Setelah segala kebendaan dan semua gerakannya dalam alam raya ini dipecah-pecah, dikupas, diselidiki, dan dipastikan hukumnya semenjak ahli filsafat Yunani, maka berubah dan bertukarlah pula filsafat dan mengatakan what does this all mean (apakah arti semuanya ini) menjadi persoalan bagi kaum ahli ilmu pengetahuan empirik yang mengupas, menyelidiki serta membentuk pelbagai ilmu pengetahuan empirik.

ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK

Engels menyimpulkan bahwa dalam perkembangan ratusan tahun itu,  ilmu filsafat sudah berpecahan dan berpisahan menjadi ilmu pengetahuan empirik, Wissenschafft, Science, yakni pelbagai ilmu tentang sejarah dan pelbagai ilmu tentang alam raya (natura). Sisa dari filsafat itu menurut Engels, ialah logika dan dialektika. Kembali lagi kita kepada ilmu pengetahuan empirik awalnya, pada zaman Yunani dan secepat kilat kita berlari ke zaman modern. Kemudian dapatlah kita menoleh sebentar kepada logika dan dialektika yang oleh Engels disebut sebagai sisanya filsafat itu.

Syahdan, dalam kurang lebih 2500 tahun perantauannya, maka sains, ilmu pengetahuan empirik, yang dianggap sebagai anak dari filsafat dan cucu dari agama, yang hingga sekarang sebagian besarnya belum lagi lepas dari ari-ari (tali pusat) ibu dan neneknya, ilmu pengetahuan empirik tentang alam raya –dunia terbesar yang tidak tampak semuanya karena besar dan luas- sudah sampai ke dunia terkecil yang tidak tampak oleh mata. Kini kita mengenal adanya planet-planet dan tatasurya lain. Kita juga mengenal alam molekul dan atom Molekul dan atom yang tercipta dalam hipotesis atau dugaan kedua materialis dialektis, Heraklitos dan Demokritos, untuk sekarang dapat dibuktikan oleh mata dengan bantuan teropong. Bahkan ilmu pengetahuan empirik sudah sampai kepada benda yang lebih kecil lagi. Atom yang semula diduga tak dapat dibagi-bagi lagi itu ternyata masih bisa dibagi menjadi dua, yakni proton dan elektron. Seperti bumi dan matahari; seperti satu tatasurya lainnya; seperti universe dengan universe lain di alam raya ini diikat oleh kodrat Tolak dan Tarik (repultion dan atraction), yang boleh dikatakan masih termasuk jenisnya kodrat tesis dan anti tesis dalam dialektika, maka demikian juga dua dunia terkecil tadi, yaitu proton dan electron diikat oleh kodrat Tolak dan Tarik menjadi satu atom satu sintesis atom.

#Ringkasnya sintesis dari proton dan elektron adalah atom; sintesis atom dan atom ialah molekul; sintesis molekul dan molekul yakni badan; sintesis dari bumi dan matahari ialah tatasurya, sintesis dari satu tatasurya dengan tatasurya lainnya serta akhirnya satu ‘universe’ dengan ‘universe’ lainnya, ialah alam raya kita.

#Dalam 2500 tahun ini, menurut dialektika dan hukumnya tesis, anti tesis, dan sintesis yaitu otak manusia sudah mengenal alam terbesar, yakni alam raya dan alam terkecil ialah elektron dan proton. 

Cabang Ilmu Pengetahuan Empirik

Entah sampai mana ilmu pengetahuan empirik bakal bercabang lagi!  

Kalau kita pergunakan logical division (pembagian logika) atas ilmu pengetahuan empirik, maka kita memperoleh dua kelas yakni kelas sejarah dan kelas alam. Maka ilmu pengetahuan empirik mengenai sejarah manusia itu sudah terpecah-pecah pula menjadi ilmu kemasyarakatan (sosiologi) dan sejarahnya, ilmu politik, ilmu hukum, ilmu ekonomi, ilmu kesusasteraan dan lain-lain. Ilmu pengetahuan empiric yang mengenai alam raya sudah terbagi menjadi ilmu bintang, ilmu alam (phisic), ilmu kimia, ilmu listrik dan lain-lain. Disamping itu kita kenal pula ilmu matematika yang bukti dasarnya berlandaskan barang ciptaan seperti angka (number) dan huruf (letter). Kita kenal ilmu ukur, ilmu hitung, aljabar, trigonometri dan sebagainya.

Perpecahan ini tidak hanya dalam cabang besarnya saja, tiap-tiap cabang itu sudah terpecah-pecah juga. Cermati saja banyak ahli yang sudah ada dalam ilmu kedokteran. Kita mengenal ahli gigi, ahli telinga, ahli hidung, ahli rambut dan lain-lain. Ambillah juga contoh dari cabang ilmu hukum yang sudah terbagi atas beberapa ranting seperti ilmu hukum undang-undang dasar (constitutional laws), ilmu hukum tata negara (laws of nation) hukum sipil (civil laws) dan hukum kejahatan (criminal laws).

Resiko yang sangat berbahaya jika ada ahli dalam suatu cabang ilmu pengetahuan empirik tidak lagi mengenal hubungan ilmunya dengan ilmu lain maka hidupnya terpisah oleh keahliannya sendiri. # Seorang ahli kejahatan, kriminolog, hanya memandang kejahatan dari sudut tingkah laku seseorang, seolah-olah dia lupa bahwa perbuatan orang yang hidup dalam masyarakat itu conditioned-tergantung pada pelbagai keadaan di dalam dan luar dirinya sendiri; tergantung pada gerakan jiwa yang berseluk-beluk; keadaan ekonomi-politik, sosial dan kebudayaan dalam masyarakat itu sendiri.

Sehubungan dengan adanya bahaya keterpecahan, keterpisahan, keterasingan itulah sehingga perlu ada  pengaruh dari satu aliran dalam dunia ilmu pengetahuan empirik untuk mengkoordinasi, menghubungkan kembali pelbagai ilmu pengetahuan empirik untuk mengkoordinasi, menghubungkan kembali pelbagai ilmu yang terpecah-belah karena kemajuannya sendiri!

#Seperti yang telah saya sebutkan terlebih dahulu bahwa inilah gambarannya yang dimaksudkan seorang scientis ternama dengan weaving up general principles sebagai tafsiran dari filsafat modern.  

Maksud, Cara, Bahan dan Semangat Ilmu Pengetahuan Empirik

Tak perlu kita menghampiri dan menafsirkansemua  isi atau sebagian pun dari pelbagai cabang pengetahuan yang ada. Lebih dari cukup bagi kita untuk mencob/menafsirkan maksud ilmu pengetahuan empirik, cara dan bagaimana ilmu pengetahuan empirik memperoleh maksudnya, Serta bahan yang dipakainya dan semangat yang digunakan dalam mencapai maksudnya itu.

#Salah satu kalimat yang lazim dipakai dalam mendefinisikan (menetapkan) maksud ilmu pengetahuan empiric yaitu simplification by generalization atau mempermudah dengan memasukkan sesuatu yang dipelajari ke dalam sesuatu yang sudah lebih dikenal atau memasukkan yang belum dikenal itu ke dalam sesuatu yang sudah lebih dikenal.  

#Kalimat lain yang juga biasa digunakan untuk mendefinisikan maksud ilmu pengetahuan empiric yaitu the organization of facts (menyusun segala bukti). Formula ini sangat praktis. Sehubungan dengan ini pula, maka sains saya terjemahkan dengan ‘ilmu bukti’.

#selain itu, ada formula lain yang lebih praktis yang dipublikasikan di dunia ilmu pengetahuan sebagai maksud sains yaitu to estabish laws and system, untuk membentuk hukum dan sistem.

Tentang cara untuk mendapatkan maksud itu ialah dengan cara logika, klasifikasi, statistik dan ukur-mengukur serta timbang-menimbang. Sering juga dipakai cara dialektis. Dengan logika kita berurusan dengan apa yang dinamakan induksi, deduksi dan verifikasi. Dalam matematika kita berurusan dengan apa yang disebut metode sintetik, analitik dan reductio ad absurdum. Kedua ragam cara berpikir dalam logika dan matematika itu hamper sama. Di tempat lain Tan Malaka sudah uraikan perkara itu lebih lanjut yaitu dalam buku Madilog. Di sini ia hendak menyebutkan sambil lalu seperti apa cara kaum scientis mendapatkan maksudnya yaitu mendapatkan hukum dan sistem itu (laws and systems).

Bahan atau bukti yang dipergunakan oleh kaum ahli ilmu pengetahuan empiric diperoleh dengan jalan observation (pengamatan) atau experiment (praktek). Jalan experiment lebih banyak mendapatkan hasil. Begitu pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan empirik semenjak Galileo. Pada permulaan abad ke-17 Galileo mengadakan experiment tepatnya di menara kota Pisa. Boleh dikatakan experiment itu telah membuka pintu untuk mendapatkan kekayaan alam yang tak ada batasnya yang disediakan bagi umat manusia. Dari empat anasir yang dikenal oleh Yunani asli,yakni tanah, air, udara, dan api maka ilmu kimia sekarang saja sudah mengenal 92 elements (anasir).

#Akhirnya, semangat objectivity (tidak melibatkan subyektivitas, termasuk emosi dan kepentingan) di samping semangat adventure sanggup meloncat dari dunia bukti ke dunia hipotesis dan teori adalah satu sine qua non bagi seorang sciencetis. Seorang ahli yang hanya berada dalam dunia bukti saja dan tak sanggup melepaskan bukti-bukti itu yang mampu  melayang ke dunia hipotesis dan teori, tidaklah akan sanggup membentuk laws and systems seperti yang dimaksud dalam science. Mereka akan tetap tinggal pada dunia bukti saja.

 

Yunani sebagai Pelopor Ilmu Pengetahuan Empirik

Dengan demikian maka patutlah kita memberikan piagam penghormatan ke tangan bangsa Yunani sebagai pelopor ilmu pengetahuan empirik modern. Dalam arti tulisan dan lisan memang Archimedes melompat dan melambung dari dunia bukti nyata ke dunia hukum atas bukti yang nyata.

Sekian lama Archimedes bertanya kepada dirinya sendiri tentang mengapa dan bagaimana badannya bisa melambung ke atas, kalau dia mencemplungkan dirinya ke dalam air, ke dalam sembarang air di sembarang tempat. Akhirnya dia mendapatkan ilham dan pertama kali menetapkan, sebab dan akibat, yang dicarinya itu. Archimedes mendapat hukum, tentang benda yang terbenam, melayang dan mengapung dalam air, yang sekarang kita jadikan pelajaran di sekolah. Dalam kegembiraannya Archimedes tidak saja melompat keluar dari air dan berteriak-teriak Eureka, Eureka (saya dapat) ke sana kemari melupakan pakaian tetapi ia sudah melompat melambung dari dunia benda ke dunia hukum. Hukum yang pertama kali ditetapkan itu kian tahun kian mengembang dan melambung. Hukum tadinya dilaksanakan pada semua tempat dan semua waktu, sampai salah seorang pengikutnya menemukan air raksa (kwik). Barang biasa seperti kayu tidak terbenam di dalam air raksa melainkan terapung. Nyatalah di kemudian hari, bahwa bukan Hukum Archimedes yang salah melainkan formulanya masih kurang luas.

Hukum Achimedes bahkan mendapatkan verification (pembuktian), lantaran bukti baru (air raksa) tadi. Kini air diperluas daerahnya, yakni mengenai minyak, air raksa dan lain-lain atau mengenai semua yang cair. Orang atau kayu diperluas pula daerahnya menjadi semua benda. Hukum Archimedes tumbuh dengan subur sampai kepada Gay Lusac dan lain-lain. Sampai dilanjutkan ke udara, ke strastosphere, ke mana Prof. Piccard melambung mencari pengesahan alam. Merantaulah Piccard ke dunia yang belum di alami, ke dunia yang cuma dianggap benar menurut hipotesis saja! Merantau dan berpetualang dari alam terkenal ke alam yang belum di kenal seperti Columbus, Ronald Amunsen dan para ahli penjelajah samudra lainnya!

Dengan begitu sempurnalah cara induksi, deduksi, verifikasi yang diutamakan oleh logika dan ilmu pengetahuan empirik itu. Dan lebih sempurnalah pula mencari sebab yakni dengan lima jalan yang sudah dikenal :

  1. Method of agreement (cara persamaan).
  2. Method of Difference (cara pembedaan).
  3. Joint Method (cara paduan).
  4. Concomitant Variation (cara perubahan serempak).
  5. Mehtod of Residue (cara sisa).

Sejarah menceritakan kepada kita bahwa Pytahogras tidak tinggal menguji (to prove) sudut siku yang kita kenal. Selain pertama sekali menegakkan teori dan dengan cara menguji teori, Pythagoras pun cocok dengan suasana zamannya mengangkat angka dan teorinya itu ke dunia gaib. Banyak angka yang dianggap sakti oleh mahaguru Pythagoras. Dengan demikian maka Pythagoras mempengaruhi dunia keagamaan, dunia filsafat dan yang berkenaan dengan uraian kita disini, yakni dunia matematika.

Dipelopori oleh Pythagoras, setelah 2500 tahun sampai kepada pelbagai teori matematika yang sulit seperti teori relativitas Einstein, melalui para ahli matematika raksasa seperti Fermat, Laplace, Newton dan lain-lain. Tanpa Aljabar tidaklah mungkin kita sampai kepada teori trigonometri dan relativitas Einstein.

Teknik Aljabar memungkinkan atau sekurangnya sangat memudahkan kemajuan matematika. Pelambungan benda ke angka dan pelambungan angka ke huruflah yang memberi pesawat kepada Einstein dan Newton supaya mudah melambung ke dunia bintang di langit dan mengukur segala kodrat yang bergerak di alam raya ini, dari gerakan pasir, batu, bumi, matahari sampai kegerakan atom dan sinar matahari yang laju 300.000 km/detik!

Berdasarkan pendangan beberapa ahli bahwa klasifikasi yang dilakukan Ariestoteles dibekukan oleh pengetahuan di Abad Pertengahan. Ucapan semacam itu tidak boleh diterima begitu saja. Perlu diklarifikasi kembali bagaimana keadaan produksi dan masyarakat di Abad Pertengahan itu sehingga dapat membekukan klasifikasinya Aristoteles. Tetapi yang nyata ialah klasifikasi yang banyak dipergunakan oleh Aristoteles dalam ilmu hayat (biologi) yang menjadi perkakas penting, di samping dialektika, bagi pelopor biologi modern, yakni Charles Darwin. Di masanya,  Darwin bertualang dengan kapal Beagle-nya untuk mempelajari jenis (species) tumbuhan dan hewan, di daratan, lautan dan udara. Darwin tak lepas dari cara klasifikasi, induksi, deduksi dan cara menetapkan sebab yang dibentuk oleh Aristoteles dalam logikanya.

Permulaan abad ke-19 adalah abad yang sanggup mengangkat kembali ilmu yang hidup yang sudah dipelopori oleh Aristoteles. Ilmu yang dirintis oleh raksasa pemikir Yunani itu sempat terhenti di zaman abad pertengahan dan di belakangnya, karena produksi, teknik dan ilmu umumnya belum lagi mengizinkan kebangkitannya kembali untuk maju dengan pesat cepat, seperti setelah sampai ke tangannya Charles Darwin yang hidup dalam kandungan masyarakat kapitalisme modern.

Seperti hal lainnya lebih dari 2000 tahun teori molekul dan atom serta tafsiran materialisme dan cara berpikir dialektis dari Heraklitos, Demokritos dan Epicurus harus beku terpendam.  Menunggu masyarakat dan produksi yang cocok serta para ahli yang pantas seperti Marx, Engels, dan Lenin untuk membangkitkan kembali teori, tafsiran dan cara yang telah lama beku terpendam itu untuk dilanjutkan dan disempurnakan.